MAKALAH
EUTHANASIA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Masailul Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Drs. Makrum Kholil,
M.Ag
Disusun Oleh : Eka Nurkhasanah
|
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
|
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2012
I.
Pendahuluan
Dalam pandangan agama
islam, hidup adalah anugerah Allah. Dia yang menganugerahinya dan Dia pula yang mencabutnya. Disisi lain mengakhiri
hidup seseorang dengan alasan kemanusiaaan pada hakikatnya telah berputus asa
dari rahmat Allah. jangankan mengakhiri hidup orang lain, mengakhiri hidup diri
sendiri pun dilarang dan diancam olehNya, dengan sanksi yang amat berat. kemudian pada saat ini dalam dunia
kedokteran muncul yang namanya Eutanasia atau suntik mati yang saat ini menjadi
satu permasalahan yang menimbulkan perbincangan para pakar. oleh sebab itu, pada
makalah ini kami akan menguraikan tentang eutanasia.
II.
Pengertian
Euthanasia
dan seluk beluknya
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani “eu” yang berarti “baik”, dan “thanatos”, yang berarti “kematian”. Jadi, eutanasia artinya membiarkan seseorang mati dengan mudah dan baik.[1] Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.[2] Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[3]
Dengan demikian eutanasia
mencangkup:
·
kematian dengan cara
memasukkan obat dengan atau tanpa permintaan eksplisit dari si pasien.
·
keputusan untuk
menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang hidup pasien dengan tujuan mempercepat
kematianya.
·
pemberian obat bius dalam
jumlah yang over dosis dengan tujuan mengakhiri hidup si pasien.[4]
Euthanasia dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Eutanasia aktif
Tindakan
dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh
pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah
sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan
medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah.
2. Eutanasia Pasif
Adapun hukum
euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
a.
Tinjauan Medis Terhadap Eutanasia
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut
kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang
tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan
euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik
kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di
sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode
etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara mana pun.[5]
b.
Tinjauan Hukum Positif Terhadap Eutanasia
Dalam
hukum positif di Indonesia terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan
eutanasia:
1.
KUHP Bab XV Pasal 304
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
2.
KUHP Bab XIX Pasal 334
Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan
hati, diancam dengan pidana paling lama 12 tahun.
3.
KUHP Bab XIX Pasal 338
Barang siapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, karena pembunuhan, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun.
4.
KUHP Pasal 531
Barang siapa ketika meyakinkan bahwa ada orang yang sedang menghadapi
maut, tidak memberikan pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa
selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain diancam jika
kemudian orang itu meninggal dengan kurungan paling lama 3 bulan.[6]
III.
Hukum Eutanasia
Dalam pandangan agama islam,
hidup adalah anugerah Allah. Dia yang menganugerahinya dan Dia pula yang mencabutnya. disisi lain
mengahiri hidup seseorang dengan alasan
kemanusiaaan pada hakikatnya telah berputus asa dari rahmat Allah. jangankan
mengakhiri hidup orang lain, mengakhiri hidup diri sendiri pun dilarang dan diancam
olehNya, dengan sanksi yang amat berat.[7]
Firman
Allah SWT :
ولاتقتلواالنفس التي
حرم الله الابالحق
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-An’aam : 151)
وما كا ن لمؤ من ان يقتل مؤ منا الاخطا
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min
membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…”
(QS An-Nisaa` : 92)
ولاتقتلواانفسكم ان الله كا ن بكم رحيما
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` :
29). Dari
dalil di atas, sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
الا صل في ا لنهي للتحر يم
“Asal
dari larangan adalah haram”
Dari dalil dan kaidah ushul fiqh di atas, dapatlah di
ambil kesimpulan bahwa euthanasia aktif adalah dilarang dan hukumnya haram,
karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah)
dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya
dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi
qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah),
sesuai firman Allah :
يا يها الذين ءا
منوا كتب عليكم القصا ص في القتلي
“Telah
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul)
menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan.
Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT :
فمن عفي له من
اخيه شي ء فاتبا ع بالمعروف واداءاليه باحسن
“Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).”
(QS Al-Baqarah : 178)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sedangkan hukum euthanasia pasif adalah bergantung kepada
pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri.
Yakni, apakah berobat itu wajib, sunnah, mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat.
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat
adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada
satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib),
tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah
kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits
di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul
:
الا صل في الامر للطب
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
(An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut
kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan
itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru
menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas
RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga.
Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia
berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap (saat ayanku kambuh), maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa
untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat
hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya
dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika
para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka
para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu
tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan
wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih
bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan
alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat
yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya
organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien,
dokter tidak dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab
mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter,
disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah
orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak
mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa
(Al-Hakim/Ulil Amri)[8]
IV.
PENUTUP
Dari
pemaparan yang panjang lebar di atas maka dapat kami tarik kesimpulan bahwa
hukum euthanasia aktif adalah haram, sedangkan hukum euthanasia pasif adalah mubah,
namun meskipun euthanasia pasif adalah mubah, kami ingin menghimbau bahwa
segala jenis euthanasia sebaiknya tidak dilakukan, sebab menghentikan
pengobatan bagi pasien adalah tindakan yang tidak etis, kecuali jika semua
pihak sudah berusaha, berupaya dan sudah mencapai puncak ikhtiarnya, maka apa
mau dikata, yang terpenting adalah jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah
SWT. Sekian pemaparan makalah dari kami, atas segala kekurangan kami mohon
maaf.
DAFTAR
PUSTAKA
Fadl mohsin ebrahim, abdul. 2004. kloning, eutanasia, transfusi darah, transplantasi organ dan eksperimen
pada hewan,telaah fiqh dan bioetika islam,jakarta:serambi ilmu semesta.
Qardhawi,
yusuf. 2002 .fatwa-fatwa
kontemporer. jakarta:gema
insani press
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas
Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Mukti,ali ghufron dan Adi heru utomo. 1993. abortus, bayi tabung,euthanasia,transplantasi
ginjal,dan operasi ginjal,dalam tinjauan
medis,hukum, dan agama islam. yogyakarta: aditya media
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam/
[1] abdul fadl mohsin ebrahim,kloning,eutanasia,transfusi
darah,transplantasi organ dan eksperimen pada hewan,telaah fiqh dan bioetika
islam,(jakarta:serambi ilmu semesta,2004)hal.148
[2] yusuf qardhawi,fatwa-fatwa kontemporer,(jakarta:gema
insani press,2002)hal.749
[3] Setiawan Budi utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,( Jakarta
: Gema Insani Press,2003) hal.145
: Gema Insani Press,2003) hal.145
[4] op.cit.,abdul
fadl mohsin ebrahim,hal.148
[5]
Setiawan Budi utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,( Jakarta
: Gema Insani Press,2003) hal.178
: Gema Insani Press,2003) hal.178
[6] ali ghufron mukti dan adi heru
utomo,abortus,bayi tabung,euthanasia,transplantasi
ginjal,dan operasi ginjal,dalam tinjauan medis,hukum dan agama islam,(yogyakarta:aditya
media,1993),hal.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar