MAKALAH
HADITS PADA MASA SAHABAT
DAN TABI’IN
disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah :
Ulum Al-Hadits
Dosen Pengampu :
Hasan Su’aidi, M.Si
Disusun Oleh :
- Emilda Khasanah 202 109 106
- Mustopiyah 202 109 125
- Nurul Khasanah 202 109 137
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2010
PENDAHULUAN
Hadits (As Sunnah) berarti segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk qaul (ucapan), fiil (perbuatan),
taqrir perangai dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannnya,
baik sebelum atau setelah diangkatnya menjadi Rasul.
Dalam Al Qur'an, Allah memerintahkan para sahabat untuk
mengikuti dan menaati Rasulullah SAW baik semasa hayat maupun setelah wafatnya
beliau. Demikian pula umat Islam yang hidup setelah masa para sahabat dan
seterusnya diwajibkan mengikuti sunnahnya.
Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya
berhati-hati dan supaya memeriksa benar-benar suatu hadits yang hendak
disampaikan kepada orang lain. Nabi SAW bersabda :
كفى
بالمرء إثما أن يحدث بكل ماسمع
“Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala
apa yang didengarnya” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah)
Oleh karena itu, para sahabat sedikit demi sedikit
menyampaikan hadits kepada orang lain. Lalu bagaimanakah para sahabat dan
generasi setelahnya (tabi’in) menyampaikan sunnah kepada umat Islam? Dalam
makalah ini akan disampaikan bagaimana perkembangan sunah pada masa sahabat dan
tabi’in secara lebih rinci.
PEMBAHASAN
A.
Hadits
Pada Masa Sahabat
Para sahabat pasti melaksanakan perintah Rasulullah SAW dan menyampaikan
amanatnya kepada kaum muslimin, apalagi setelah mereka bertebaran di berbagai
tempat dan menjadi tempat para tabi’in meminta pertolongan. Salah satu amanat
Nabi adalah berpegang pada hadits / as sunnah.
Di antara para sahabat itu ada yang
meriwayatkan banyak hadits dan ada pula yang sedikit. Termasuk sahabat yag
sedikit meriwyatkan hadits adalah Az Zubeir, Zaid bin Akrom, dan Imran bin
Husein.
Para sahabat pada awalnya sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadits.
Bahkan ada diantara mereka yang lebih baik diam daripada menyampaikan hadits.
Karena takut perumusan penyampaiannya kurang tepat.[1]
Khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib) sekitar tahun 11 H sampai dengan tahun 40 H. Masa
ini juga disebut dengan masa sahabat besar.[2]
Berikut ini dikemukakan sikap
al-Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadits nabi :
1.
Abu Bakar
Al-Shidiq
Abu Bakar merupakan sahabat nabi yang
menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernah suatu ketika
seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar dan meminta hak waris dari harta
yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk
Al Qur'an dan praktek nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu
Bakar bertanya kepada shabat, dan Al Mughirah bin Syu’bah menyatakan bahwa nabi
telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Beliau
mengaku bahwa beliau hadir ketika Nabi menetapkan kewarisan nenek itu.
Mendengar pernyataan tersebut Abu Bakar meminta agar al-Mugiroh menghadirkan
seorang saksi. Lalu Muhamad bin Maslamah memberikan saksi atas kebenaran
pernyataan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan warisan nenek sebesar
seperenam bagian.[3]
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati
dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang
diriwayatkannya relatif tidak banyak. Padahal beliau seorang sahabat yang telah
bergaul lama dengan Rasulullah SAW. Sebab lain, Abu Bakar meriwayatkan hadits
yaitu beliau selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah,
kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak zaman sesudahnya. Serta jarak antara
waktu kewafatan beliau dengan kewafatan nabi sangat singkat.
Jadi, periwayatan hadits pada masa
khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di
kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa sikap umat Islam
dalam meriwayatkan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap kholifah Abu
Bakar, yaitu sangat berhati-hati.[4]
Akan tetapi tidak perlu disalahpahami bahwa beliau tidak anti terhadap
penulisan hadits. Bahkan untuk kepentingan tertentu, hadits nabi ditulisnya.
2.
Umar bin
Khattab
Tidak jauh berbeda ketika masa
kholifah Abu Bakar, sikap kehati-hatian dalam meriwayatkan suatu hadits dengan
syarat adanya saksipun masih dilakukan oleh Sayidina Zumar. Akan tetapi untuk
masalah tertentu, seringkali beliau menerima periwayatan tanpa syahid dari
orang tertentu.
Dengan tegas, sejarah menerangkan
bahwa Umar, ketika memegang kekhalifahan meminta dengan keras agar para sahabat
menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang memperbanyak periwayatan
hadits. Saat mengutus utusan ke Iraq,
beliau mewasiatkan agar utusan-utusan itu mengembangkan Al Qur'an dan mengembangkan
kebagusan tajwidnya. Serta mencegah mereka untuk memperbanyak riwayat.
Diterangkan bahwa suatu ketika ada
orang bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah dia banyak meriwayatkan hadits di
masa umar, dan Abu Hurairah menjawab : Sekiranya sya membanyakkan hadits Umar
akan mencambuk saya dengan cambuknya.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa
Umar pernah memenjarakan Ibn Mas’ud, Abu Dar’da dan Abu Mas’ud al-Anshory
karena mereka banyak meriwayatkan hadits. Tetapi berita ini sulit dipercaya
karena :
a.
Berita itu
berasal dari Sa’ad bin Ibrohim dari ayahnya, Ibrohim. Menurut penelitian Nur
al-din al Haysamy, Ibrohim lahir pada tahun 20 H dan tidak pernah bertemu
dengan Umar. Pasti ketika itu Ibrahim masih berusia sekitar 3 tahun (Umar wafat
tahun 23 H).
b.
Jika berita
itu benar, pasti akan ada periwayatan lain yang menyampaikan berita itu. Sebab,
ketiga sahabat tadi adalah orang-orang yang disegani masyarakat baik pada zaman
Umar maupun pada zaman nabi.
Kebijaksanaan Umar melarang para
sahabat memperbanyak periwayatan sesungguhnya tidak berarti bahwa Umar sama
sekali melarang periwayatan hadits. Namun, agar masyarakat lebih berhati-hati
dalam periwayatan hadits dan agar perhatian terhadap Al Qur'an tidak terganggu.
Namun, periwayatan hadits pada masa Umar lebih banyak dilakukan oleh umat Islam
dibanding pada masa Abu Bakar.
Adapun cara para sahabat meriwayatkan
hadits pada masa Abu Bakar dan Umar ada dua :
a.
Ada
kalanya dengan lafad asli, yaitu sesuai lafal yang mereka terima dari nabi yang
mereka hafal dengan lafal tersebut dari nabi.
b.
Ada
kalanya dengan maknanya saja, yaitu mereka meriwyatkan maknanya bukan lafalnya,
karena mereka tidak hafal lafal aslinya.
Yang penting dari hadits adalah isi,
bahasa dan lafal boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan
sama.
3.
Utsman bin
Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang
periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua
khalifah sebelumnya. Hanya saja langkahnya tidak setegas Umar bin al-Khattab.
Usman sendiri tampaknya memang tidak
banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits nabi yang
berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadits saja.
Pada masa usman dibuka peluang kepada
para sahabat untuk meriwayatkan dan mengumpulkan hadits. Dalam khutbahnya Usman
menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan
tetapi, seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya. Hal tersebut terjadi karena
pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar. Juga faktor wilayah Islam yang
semakin meluas dan mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat.
Asy Syaikh Abu Bakr Ash Shiqilli
dalam fawaidnya menurut riwayat Ibnu Basykual, “Sebenarnya para sahabat tidak mengumpulkan
sunah-sunah Rasulullah dalam sebuah mushaf sebagaimana Al Qur'an. Karena
sunah-sunah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi karena
masyarakat tersebut hanya menghafal untuk dirinya. Lafal-lafal sunnah tidak
terjamin kesempurnaannya. Masing-masing sahabat mengumpulkan hadits hanya
sekedar kesanggupannya. Dengan demikian pula tersusunlah berbagai hadits.
4.
Ali bin
Abi Thalib
Secara umum, Ali baru bersedia
menerima riwayat hadits nabi setelah periwyat hadits yang bersangkutan
mengucapkan sumpah bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar berasal
dari Nabi. Sebenarnya fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali bukanlah
sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah disanggap tidak
perlu apabila orag yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini
tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup
banyak meriwayatkan hadits nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam
bentuk lisan juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadtis yang berupa catatan,
isinya berkisar antara hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang
ditawan oleh orang kafir dan larangan melakukan hukum kisas (qishah) terhadap
orang Islam yang membunuh orang kafir.
Sikap kehati-hatian dalam kegiatan
periwayatan hadits pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib sama pada masa
sebelumnya. Akan tetapi situasi politik pada masa Ali telah berbeda.
Pertentangan politik di kalangan umat Islam makin menajam pada masa Ali.
Peperangan antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan
politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemalsuan hadits.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan
bahwa kebijaksanaan Khulafaur Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah
sebagai berikut :
1)
Seluruh
khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan
hadits.
2)
Larangan memperbanyak
periwayatan hadits, terutama pada masa Umar. Tujuan pokoknya agar periwayat
selektif dalam meriwayatkan hadits dan agar masyarakat tidak berpaling
memperhatikan hadits dari pada Al Qur'an.
3)
Pengucapan
sumpah dan menghadirkan saksi menjadi salah satu cara untuk meneliti riwayat
hadits. Kecuali orang-orang yang memiliki kredibilitas yang tinggi tidak
dibebani kewajiban tersebut.
4)
Masing-masing
khalifah telah meriwayatkan hadits.
Beberapa sahabat nabi selain
Khulafa’ur Rasyidin telah menunjukkan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadits
pula. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan mereka seperti :
1)
Anas bin
Malik, pernah berkata sekiranya dia tidak takut keliru niscaya emua apa yang
telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan ini
memberi petunjuk bahwa tidak semua hadits yang pernah didengarnya dari Nabi
disampaikan kepada sahabat lain atau tabi’in.
2)
Abd Allah
bin Umar
Oleh kalangan tabiin antara lain :
a.
Al Sya’biy
: selama dia bergaul dua atau satu setengah tahun dengan Ibn Umar, ternyata
beliau hanya menyampaikan sebuah hadits saja.
b.
Sabit bin
Quthbah al Anshariy : dalam waktu satu bulan, hanya menyampaikan dua atau tiga
buah hadits.
c.
Mujahid :
selama menemani Ibn Umar dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, beliau hanya
menyampaikan sebuah hadits saja.
3)
Sa’ad bin
Abiy Waqqash
Ketika melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah bersama
al Sa’ib bin Yazid, beliau sama sekali tidak menyampaikan sebuah haditspun.
Sikap kehati-hatian para sahabat
dalam periwayatan hadits ini sama dengan kehati-hatian para sahabat besar pada
umumnya. Di samping itu, pada masa sahabat kecil, para sahabat terlihat tidak
lagi terkekang akan keharusan menyedikitkan periwayatan hadits.[5]
B.
Hadits
Pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang
dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan para
sahabat. Mereka, bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru
mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi berbeda dengan yang dihadapi
sahabat.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani
Umayyah, wilayah kekuasana Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika
Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah
kekuasaan Islam penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus
meningkat sehingga masa ini disebut masa menyebarnya periwayatan hadits
(intisari ar-Riwayah ila al-amsar).[6]
Pada masa ini, para tabi’in dengan
jelas menunjukkan kesungguhan, kehati-hatian dan keluasan pengetahuan ulama
sesudah zaman generasi sahabat dalam periwayatan hadits. Bagian hadits yang
dikaji dan didalami bukan hanya matannya saja, melainkan juga nama-nama perawi
yang susunan sanadnya.
Ulama hadits pada masa itu kemudian
mnciptakan gelar-gelar keahlian di bidang pengetahuan hadits. Gelar-gelar yang
berstatus honoris causa itu bertingkat sesuai jenjang keahlian masing-masing
ulama. Kalangan ulama muta’akhirin menyatakan gelar yang terendah adalah
al-musnid, kemudian disusul peringkat di atas secara urut : al-muhaddis,
al-hafizh, al-hakim dan yang tertinggi amir al mu’minin fiy al hadis.
Kemudian gelar tersebut pertanda
betapa hadits nabi telah menjadi perhatian yang sangat besar di kalangan ulama
dan masyarakat. Periwayatan hadits pada masa ini tidak memperoleh hadits secara
langsung dari nabi, karena mereka tidak sezaman dengan Nabi. Mereka dapat
menerima riwayat dari periwayat yang bersal dari generasi sebelum mereka, satu
generasi dengan mereka dan dari generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan
mereka.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan,
bahwa periwayatan hadits pada masa tabi’in telah makin meluas. Rangkaian para
periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibanding pada
masa sahabat. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadits makin
besar, karena jumlah periwayatnya juga semakin bertambah banyak. Seiring dengan
itu jumlah ulama yang mengkhususkan diri untuk meneliti hadits juga makin
bertambah banyak. Berbagai ilmu dan kaedah yang berkenaan dengan penelitian hadits
makin berkembang.
C.
“Bendaharawan
Hadits”
Julukan “bendaharawan hadits” adalah
untuk sahabat di mana yang diriwayatkan lebih dari 1.000 hadits. Mereka
memperoleh riwayat yang banyak itu karena :
1)
Yang
paling awal masuk Islam, seperti : Khulafaur Rasyidin dan Abalullah ibn Mas’ud
2)
Terus
menerus mendampingi Nabi dan kuat hafalannya, seperti : Abu Hurairah.
3)
Menerima
riwayat dari setengah sahabat selain mendengar dari Nabi dan panjang umurnya,
seperti : Anas ibn Malik
4)
Lama
menyertai Nabi dan mengetahui keadaan Nabi. Seperti : isteri-isteri beliau
Aisyah dan Ummu Salamah
5)
Berusaha
mencatatnya seperti : Abdullah ibn Amer bin Ash.
Para “bendaharawan hadits”, ialah :
1)
Abu
Hurairah (+ 5.347 hadits)
2)
Aisyah,
isteri Rasul (+ 2.210 hadits)
3)
Anas ibn Malik
(+ 2.236 hadits)
4)
Abdullah
ibn Abbas (+ 1.660 hadits)
5)
Abdullah
ibn Umar (+ 2.630 hadits)
6)
Jabir ibn
Abdillah (+ 1.540 hadits)
7)
Abu Sa’di
al Khudry (+ 1.170 hadits)
8)
Ibn Mas’ud
9)
Abdullah
ibn Amer Ibn Ash.[7]
D.
Pusat-pusat
Hadits dan Tokohnya
Dalam perkembangan Islam yang begitu
luas, yang tidak pernah ada dalam sejarah manusia terjadi semacam itu. Maka
tidak dapat dipungkiri bahwa para ulama harus disebar pula ke daerah-daerah
yang wilayahnya sangat luas tersebut. Alasannya, daerah-daerah tersebut
dikuasai dan dihuni oleh orang Islam. Tidak dapat disangkal lagi bahwa para
penduduk tersebut harus disediakan ulama untuk mempelajari ajaran Islam, tidak
terkecuali ulama hadits. Tentu benar, jika dalam perkembangan selanjutnya
terdapat kota-kota beserta ulama hadits sebagai pusat pengajaran hadits.
1.
Madinah
Madinah dikenal juga dengan Dar
al-Hijrah. Sebagai ibukota kekuasaan Islam pada masa nabi dan Khulafa
Rasyidin maka kota
ini menjadi pusat hadits. Bahkan pemikiran fiqhnyapun dikenal sebagai fiqh ahli
hadits.
Di antara tokoh-tokoh hadits di
Madina ada kalangan sahabat ialah Abu Bakr, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah,
Ibnu Umar, Abu Sa’di Al Khudry dan Zaid ibn Tsabit.
Di kota ini muncul pula generasi
tabi’in seperti : Sa’di Ibn Al Musayib, Urwah ibn al-Zubair, Ibn Syihab
al-Zuhri, Ubaidillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abdillah ibn Umar,
Muhammad al-Munkadir.
2.
Makkah
Di antara tokoh hadits Makkah ialah
Mu’adz ibn Jabal, Abdullah ibn Abbas, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman
bin Thalhah, dan Uqbah bin al-Haris.
Di antara para tabiin tercatat
nama-nama seperti : Mujahid bin Jabar, Ata’bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan,
Ikrimah Maula ibn Abbas dan Abul Zubair Muhammad ibn Muslim.
3.
Kufah
Para sahabat mulai masuk ke Kufah pada msa pemerintahan Umar bin
Khattab, ketika menaklukkan Irak. Kota Kufah dan Bashrah selanjutnya menjadi
pintu gerbang perluasan Islam ke Khurasan, Persia dan India.
Diantara sahabat yang mengembangkan
hadits di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad ibn Abi
Waqash, Sa’di ibn Zaid, Khabbab ibn Al Arat, Salman Al-Farisy, Hudzaifah Ibnul
Yaman, Amar ibn Yasir, Abu Mus, Al Baraq, Al Mughirah, Al Nu’man, Abu Thufail,
Abu Juhaifah.
Tidak kurang dari 6- orang tabi’in
besar menjadi sahabat Ibn Mas’ud, antara lain Amir Ibn Syurahbil al-Sya’bi,
Sa’id ibn Jabir al-Asasi, Ibrahim al-Nakha’i, Abu Ishaq al Sabi’i, Abdul Malik
ibn Umar.
4.
Bashrah
Pemimpin hadits di Bashrah dari
golongan sahabat, ialah : Anas ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, Utbah ibn
Ghazwan, Imran ibn Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qal ibn Yassar, Abdurahman
ibn Samurah, Jariah ibn Qudamah, Abdullah ibn Syikhir.
Tabi’in hasil didikan para sahabat di
sana antara lain Hasan al-Bishri, Abul Aliyah, Rafi ibn Mihram Al Riyahy,
Muhammad ibn Sirin, Abu Sya’tsa’, Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mtharraf ibn Abdullah
ibn Syikhkhir dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
5.
Syam
Sebagaimana yang telah kita ketahui
bahwa Syam adalah wilayah kekuasaan Mu’awiyah ketika ia menjadi gubernur di sana, sehingga ketika ia
menjadi kepala negara maka secara langsung ibukota pemerintahannya pun di Syam.
Sahabat Nabi yang menjadi ulama
hadits di sana
antara lain Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit, Abu Darda’, Surahbil bin
Hasanah, Abu Ubaidah al-Jarh, Bilal bin Rabah, Sa’ad bin Ubadah, Khalid bin
Walid dan Iyad bin Ganam.
Para tabi’in yang muncul di sini, antara lain Salim bin Abdillah
al-Muharibi, Abu Idris al Khaulani, Abu Sulaiman ad-Darani dan Umair bin
Hanafi.
6.
Mesir
Para sahabat yang membina di Mesir antara lain, ialah Amr bin al-As,
Uqbah bin Amr, Kharijah bin Huzafah dan Abdullah bin al-Haris. Sedang para
tabi’in diantaranya Amr bin al Haris, Khair bin Nu’aimi al Hadrami, Yazid bin
Abi Habib, Abdullah bin Abi Jafar dan Abdullah bin Sulaiman at-Tawil.
7.
Magrib dan
Andalus
Para sahabat yang terjun diantaranya Mas’ud bin al-Aswad al-Balwi, Walid
bin Uqbah bin Abi Muid, Salamah bin al-Akwa, Bilal bin Haris bin Asim
al-Muzani. Kemudian para tabi’in yang muncul ialah Ziyad bin Anam al-Mu’afil,
abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’af
bin Rafi’ dan Muslim bin Yasar.
8.
Yaman
Para sahabat yang membina di Yaman antara lain Muaz bin Jabal dan Abu
Musa al-Asy’ari. Kedua sahabat ini telah dikirim ke daerah ini sejak msa Rasul
SAW masih hidup. Para tabi’in yang muncul
diantaranya, Hamam bin Munabah, Wahab bin Munabah, Tawus dan Ma’mar bin Rasid.
9.
Kurasan
Para sahabat yang terjun, antara lain Buraidah bin Husain al Aslami, al
Hakam bin Amir al-Gifari, Abdulah bin Qasim al-Aslami dan Qasm bin al-Abas.
Sedang tabi’innya ialah Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Sabit al-Ansari, Ali
bin Sabit al Ansari dan Yahya bin Sabih al-Mugri.[8]
E.
Politik
dan Pemalsuan Hadits
Seperti yang telah kita ketahui
pergolakan politik sebenarnya terjadi sejak masa sahabat. Setelah terjadinya
perang jamal dan perang sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi
Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut yaitu
terpecahnya umat Islam dalam beberpa kelompok (khawarij), syi’ah (jumhur).
Secara langsung atau tidak, masalah
tersebut cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya.
Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya
hadits-hadits palsu (maudu’) untuk kepentingan politik masing-masing kelompok
dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh positif adalah
lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin
hadits, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat
dari pergolakan politik tersebut.[9]
PENUTUP
Dari uraian di atas dapatlah dinyatakan, bahwa
periwayatan hadits pada zaman sesudah generasi sahabat nabi tidak makin meluas.
Rangkaian para periwayat hadits yang “beredar” di masyarakat menjadi lebih
“panjang’ dibandingkan dengan rangkaian para periwayat pada zaman sahabat Nabi.
Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadits
makin bertambah besar, karena jumlah periwayat yang tidak dapat dipercaya
riwayatnya makin bertambah banyak. Seiring dengan itu jumlah ulama yang
mengkhususkan diri untuk meneliti hadits juga makin bertambah banyak. Berbagai
ilmu dan kaedah yang berkenaan dengan penelitian hadits makin berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy,
Tengku Muhammad Hasbi. 1999. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra.
Asisba’i,
Musthafa, Dr. 1993. Al-hadits Sebagai Sumber Hukum Kedudukan Assunnah dalam
Membina Hukum Islam, Bandung
: CV. Diponegoro.
Ismail, M.
Syuhudi, Prof. Dr. H. 1995. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, Jakarta.
Suparca,
Munzier, Drs. MA. 1993. Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Zuhri, Muh. DR. 1997. Hadits Nabi, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.
[1] Dr. Musthafa Assiba’i, Al-hadits Sebagai Sumber Hukum Kedudukan
Assunnah dalam Membina Hukum Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1993, hal. 96-97.
[2] Drs. Munzier Suparca, MA, Ilmu Hadits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 66.
[3] Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan
Bintang, Jakarta,
1995, hal. 42.
[4] Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan
Bintang, Jakarta,
1995, hal. 44.
[5] Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan
Bintang, Jakarta,
1995, hal. 47-49.
[6] Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
1993, hal. 71.
[7] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
1999, hal. 53-54.
[8] DR. Muh. Zuhri, Hadits Nabi, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hal. 43-45
[9] Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
1993, hal. 73-74.