Kamis, 01 November 2012

Kepribadian Guru


Makalah

Kepribadian Guru

Disusun Untuk Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Nurkhasanah, M.Ag


 










Disusun Oleh:

Eka Nurkhasanah
202 109 143
Khoirunnisa
202 109
Soda Kalla
202 111 0192
M. Al-amin
202 111 0212




Prodi PAI
Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Pekalongan  
2012

A.    Pendahuluan
Pepatah jawa mengatakan guru itu singkatan dari di gugu lan ditiru. Yang digugu adalah ucapannya dan yang ditiru adalah sikap dan perbuatannya. Hingga saat ini pepatah kata itu masih banyak kita dengar dimana-mana. sehingga penghormatan dari masyarakat kepada profesi guru pun hingga saat ini masih dirasakan. Namun harus disadari, bahwa guru juga manusia. Selain kelebihan yang dimiliki, guru juga punya banyak keterbatasan dan kekurangan. Di media cetak dan elekronik banyak kita lihat/ kita baca beberapa contoh kasus guru yang terjerumus dalam tindak kriminal dan asusila. sehingga sikap dan perilaku guru yang demikian itu bukan sikap dan perilaku yang patas untuk digugu dan ditiru.
Kita sebagai calon guru sudah seyogyanya mengetahui tentang seluk beluk guru, salah satunya adalah kepribadian guru, pada makalah ini akan membahas tentang seperti apa seharusnya kepribadian seorang guru. Semoga bermanfaat.


A.    Pembahasan
a.         Pribadi Guru
Kepribadian diartikan sebagai sifat-sifat yang membedakan seseorang dari yang lain. Tiap orang yang pernah sekolah dan berhubungan dengan guru mempunyai gambaran tertentu tentang kepribadian guru. Ternyata banyak kesamaan mengenai gambaran orang pada umumnya tentang guru sehingga terbentuklah stereotip guru. Gambaran tentang guru tampak dalam cerita-cerita, film, sandiwara, karikatur dalam permainan peranan oleh anak-anak yang belum bersekolah.
Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai dengan ciri-ciri yang miliki. Kepribadian sebenarnya adalah suatu yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian, dan cara menghadapi setiap persoalan.[1] Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Oleh karena itu masalah kepribadian adalah sesuatu hal yang sangat menentukan tinggi rendahnya kewibawaan seorang guru dalam pandangan anak didik atau masyarakat.
Walaupun gambaran tentang guru itu tidak lengkap dan mungkin juga tidak benar seluruhnya, namun orang akan berinteraksi dengan guru berdasarkan stereotip guru itu. Guru merupakan sumber pengetahuan utama bagi murid-muridnya, namun pada umumnya orang tidak memandang guru sebagai orang yang pandai yang mempunyai intelegensi yang tinggi. Orang yang berintelegensi tinggi akan menjadi dokter atau insinyur dantidak menjadi guru, walaupun dalam kenyataaan terbukti bahwa guru yang beralih jabatannya dapat melakukan tugasnya dengan baik sebagai profesi lainnya, hal inipun pernah digambarkan dalam film merah putih 1, dimana pak amir yang waktu itu seorang guru SD ditunjuk sebagai perwira dan jasanya begitu besar terhadap bangsa ini.
Guru memang ada lainnya dengan pekerja lain. Guru wanita, bila dibandingkan dengan gadis atau wanita lain yang bekerja dikantor, bersifat lebih serius, berpakaian lebih konservatif karena enggan mengikuti mode terbaru, bahkan tak malu menggunakan pakaian yang sama berulang-ulang. Guru lebih kritis terhadap kelakuan orang lain, mungkin karena telah terbiasa mengamati murid-muridnya. Guru wanita tidak mudah bergaul dengan sembarangan orang.
Dalam hiburan seperti menonton bioskop ia membatasi diri dan tak suka berjumpa denan murid ditempat serupa itu, bahasa gaulnya adalah Ja’im (jaga image). Dalam suatu percobaan diperlihatkan 10 foto, diantaranya tiga foto guru yang khas. Ternyata bahwa murid-murid yang digunakan sebagai sampel kebanyakan tepat menerka foto guru, sedangkan untuk jabatan lain tebakan mereka meleset. Dari percobaan itu tampak bahwa orang memiliki gambaran tentang stereotip guru, orang yang serius, sadar akan harga diri, bersikap menjaga jarak sosial dan orang lain.

b.        Perkembangan Pribadi Guru
Kepribadian guru terbentuk atas pengaruh kode kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat dan sifat pekerjaannya. Guru harus menjalankan peranannya menurut kedudukannya dalam berbagai situasi sosial. Kelakuan yang tidak sesuai dengan peranannya itu akan mandapat kecaman. Dalam situasi kelas guru menghadapi sejumlah murid yang harus dipandangnya sebagai “anaknya”, sebaliknya guru akan dianggap sebagai bapak/ibu guru, dalam hal ini guru didewasakan, dituakan sekalipun menurut usia yang sebenarnya belum pantas menjadi “orang tua”.
Wali murid akan memandang guru sebagai “partner” yang setaraf kedudukannya dan mempercayakan anak mereka untuk diasuh oleh guru. Dalam menjalankan peranannya sebagai guru ia lambat laun membentuk kepribadiannya. Ia diperlakukan oleh lingkungan sosialnya sebagi guru dan ia akan bereaksi sebagai guru pula. Ia menjadi guru karena diperlakukan dan berlaku sebagai guru. Peranannya semakin lama akan menjadi ciri kepribadiannya yang mungkin akan melekat pada dirinya sepanjang hidupnya walaupun ia telah meninggalkan jabatannya. Guru diharapkan senantiasa berkelakuan sebagai guru selama 24 jam sehari. Apa saja dilakukannya, kapan saja, apakah ia makan di restoran, menonton di bioskop, menerima tamu dirumah ia harus mempertimbangkan film apa yang ditontonnya, di restoran mana ia makan, bagaimana ia harus berpakaian sewaktu menerima tamu.[2]





c.         Ciri-ciri Stereotip Guru
Peranan guru mempengaruhi kelakuannya. Menurut suatu penelitian pada umumnya terdapat ciri-ciri yang berikut pada guru:
*      Guru tidak memperlihatkan perhatian yang fleksibel. Ia cenderung mempunyai pendirian yang tegas dan mempertahankannya. Ia kurang terbuka bagi pendirian lain yang berbeda. Guru cenderung tidak suka menerima jawaban yang berbeda dengan jawaban guru.
*      Guru pandai menahan diri. Ia hati-hati dan tidak segera menceburkan diri dalam pergaulan dengan orang lain. Karena itu ia tidak dapat memberikan pertisipasi penuh dalam kegiatan sosial. Bahkan seorang guru sedikit diharamkan untuk masuk partai.
*      Guru berusaha menjaga harga diri dan merasa keterikatan kelakuannya pada norma-norma yang berkenaan dengan kedudukannya. Baginya guru itu orang yang terhormat dan karena itu ia harus berkelakuan sesuai dengan kedudukannya itu.
*      Guru cenderung bersikap otoriter dan ingin “menggurui” dalam diskusi. Sebagai orang yang serba tau diluar kelas, dia akan berkelakuan sama seperti diluar kelas.
*      Guru cenderung bersikap konservatif baik didalam pendiriannya maupun dalam hal-hal lahiriah, seperti pakaian.
*      Guru pada umumnya tidak terdorong oleh motivasi yang kuat untuk menjadi guru. Seorang memasuki lembaga pendidikan guru, sering karena pilihan lain tertutup.
*      Guru pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan.
*      Guru dipandang kurang agresif dalam menghadapi berbagai masalah.
*      Guru cenderung untuk memandang guru-guru sebagai kelompok yang berbeda dari golongan lain. Kecenderungan ini turut menimbulkan stereotip guru.
*      Guru menunjukkan kesediaan untuk berbakti dan berjasa.
Gambaran diatas tentang ciri-ciri guru tidak semuanya dapat dibuktikan, namun orang mempunyai suatu bayangan tertentu tentang pribadi guru pada umumnya. Walaupun gambaran itu tidak benar sepenuhnya, orang akan berinteraksi dengan guru berdasarkan gambaran yang ada padanya.

d.        Memilih Jabatan Guru
Sukar memperoleh data yang obyektif tentang pribadi calon guru dan alasan untuk memilih pekerjaan sebagai guru. Bila calon-calon ditanyakan tentang alasan mereka memilih pekerjaan guru, biasanya mereka menjawab bahwa pilihan itu sesuai dengan cita-cita untuk berbakti kepada nusa dan bangsa dengan mendidik generasi muda. Kita tidak tau berapa di antara mereka yang sebenarnya tidak berhasil memasuki perguruan tinggi lain yang lebih mereka prioritaskan. Bila kita tanyakan murid-murid SMA jarang ada yang ingin menjadi guru. Profesi keguruan, khususnya pada tingkat SD, makin lama makin banyak dipegang oleh kaum wanita, bahkan di USA atau jepang dengan guru pada tingkat SD selalu dimaksud ibu guru. Lambat laun guru-guru wanita juga mengajar pada tingkat SLTP, SMA bahkan perguruan tinggi. Bila guru kebanyakan terdiri atas wanita seperti di SD maka jabatan guru akan diidentifikasikan dengan pekerjaan  wanita sehingga kaum pria akan menjauhinya bila terbuka pekerjaan lain.
Dalam kenyataan dilihat bahwa guru-guru menunjukkan kepribadian tertentu sesuai dengan jabatannya. Apakah mereka memiliki kepribadian itu sebelum memasuki lembaga pendidikan guru, jadi memilih jabatan sesuai dengan jabatannya ataukah kepribadian guru itu terbentuk selama menjalani pendidikan atau setelah mereka bekerja sebagai guru dan menyesuaikan diri dengan norma kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Dalam kelas guru memegang posisi yang sangat berkuasa. Ia dapat menegur dan menghukum tiap pelanggaran. Guru berkepribadian buruk dapat menyalahgunakan kekuasaannya dalam bentuk sadisme yang sangat merugikan anak dan dirinya sendiri. Maka karena larangan memberikan larangan fisik harus tetap dipertahankan. Orang yang mempunyai gangguan mental hendaknya jangan menjadi guru.
Tak dapat disangkal kebanyakan guru dengan penuh dedikasi dengan menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk berbakti kepada pendidikan anak dan masyarakat. Sekalipun guru tidak menonjolkan upah finansial ia juga manusia biasa yang harus menghidupi keluarganya. maka sudah selayaknya nasib guru senantiasa menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.

e.         Ketegangan Dalam Profesi Keguruan
Dalam pembicaraan-pembicaraan populer, mengajar seringkali disebut sebagai profesi, guru adalah profesi.[3] Berikut ini adalah beberapa ketegangan dalam profesi keguruan:

a)        Tiap pekerjaan mengandung aspek-aspek yang dapat menimbulkan ketegangan, apakah pekerjaan sebagai diplomat, penerbang, supir,dokter atau guru. Jabatan guru tidak dapat dikatakan menjadi idaman atau panggilan bagi kebanyakan pemuda. Apa yang diharapkan guru dari jabatannya? Antara lain:
·      Keuntungan ekonomis, imbalan finansial.
·      Status, kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
·      Otoritas, kewibawaan, kekuasaan atas orang lain, dalam hal ini murid-murid.
·      Status profesional, merasa diri memiliki kesanggupan yang khas yang diperoleh berkat pendidikan yang tidak dimiliki orang lain.
b)        Problem guru secara struktural adalah menyangkut gaji. Secara finansial, jabatan guru tidak akan membuatnya menjadi orang kaya. Bukan hanya dinegara kita, dinegara lain guru banyak mengeluhkan gajinya. Di USA misalnya gaji buruh kasar sering melebihi gaji guru. Mengingat keberadaan guru sebagai profesi yang profesional sudah selayaknya tidak ‘tabu’ lagi mengulas ‘berapa gaji yang diperolehnya’. Selama ini muncul kesan bahwa berbicara ‘gaji’ dianggap tabu, karena guru dininabobokan dengan ungkapan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, namun pada tataran realitas-kemasyarakatan, guru tidak dapat berbuat banyak karena ‘miskin’ daya beli.[4]
c)        Status guru yang tidak begitu tinggi dalam mata masyarakat dan status yang tidak jelaas bagi guru sendiri mungkin akan mengecewakannya dan dapat mengganggu kestabilan kepribadiannya. Status guru yang seperti ini dapat menjadi sumber ketegangan bagi orang yang mencari kenaikan statusnya melalui jabatannya.
d)       Sumber ketegangan lain bagi guru ialah otoritas guru untuk menghukum atau memberi penghargaan kepada murid. Tidak selalu sama pendapat masyarakat apa yang harus dihargai atau dihukum, sehingga dapat menimbulkan ketegangan.
e)        Ketegangan lain juga dapat ditimbulkan oleh persoalan apakah pekerjaan guru dapat diakui sebagai profesi.  Tanpa melalui pendidikan keguruan seorang dapat mengajar, hal yang tidak mungkin terjadi dalam profesi kedokteran atau hukum. Diadakannya akta IV dapat dipandang sebagai pengakuan atas perlunya pendidikan khusus keguruan agar dapat mengajar dengan tanggung jawab.
f)         Sumber ketegangan juga terletak dalam pekerjaan guru di dalam kelas. Disitu diuji kemampuannya dalam profesinya, kesanggupannya untuk mengatur proses belajar mengajar agar berhasil baik sehingga memuaskan bagi setiap murid. Macam-macam  hal lain yang dapat menjadi sumber ketegangan bagi guru. Diraskan ada tidaknya ketegangan bergantung pada kepuasan yang dicari seorang guru  dalam profesinya. Keberhasilan guru dalam memberi pelajaran kepada anak didiknya akan menjadi kepuasan tersendiri. Sedangkan kegagalan dalam hal ini akan menimbulkan frustasi yang dapat mempengaruhi kepribadiannya.[5]

f.          Gangguan Fisik dan Mental Guru
Dalam buku yang ditulis oleh Nasution, bahwa berdasarkan penelitian, guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang tenggorokan sampai sariawan. Hal ini dikarenakan guru biasanya tidak memperdulikan kesehatan dan memperhatikan pola makan.
Disamping faktor kesehatan yang terganggu para guru juga mengalami gangguan mental, ada kemungkinan menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal. Misalnya seperti keluarga yang tidak harmonis dan masalah-masalah yang ada disekolah.[6]





B.     Kesimpulan
Kepribadian guru mempunyai kelebihan sendiri bila diterapkan dalam kelas karena ia akan memberikan kecenderungan dan kesenangan yang berbeda kepada murid.  Suksesnya seorang guru tergantung dari kepribadian, luasnya ilmu tentang materi pelajaran serta banyaknya pengalaman. Tugas seorang guru itu sangat berat, tidak mampu dilaksanakan kecuali apabila kuat kepribadiannya, cinta dengan tugas, ikhlas dalam mengerjakan, memelihara waktu murid, cinta kebenaran, adil dalam pergaulan. Ada yang mengatakan bahwa masa depan anak-anak di tangan guru dan di tangan gurulah terbentuknya umat.
Selain itu bila seseorang telah memilih menjadi guru maka ia akan terjun total dalam bidang yang telah dipilihya sehingga perilaku, ucapan dan tindakan selalu disesuaikan dengan profesi yang telah dipilihnya. Sedangkan saat ini statemen ibarat guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari merupakan dampak kurang diaplikasikannya ruh guru oleh guru tersebut. Misalnya, betapa banyak guru melarang  muridnya merokok  namun ia sendiri merokok dan masih banyak lagi yang lainnya.


Daftar Pustaka

Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif . Jakarta: PT Rineka Cipta
Nasution, 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Robinson, Philip. 2002. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press
Rosyid, Moh. 2007. Guru. Kudus: STAIN KUDUS PRESS
Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, Masihkah Profesi Guru Diminati?, Edisi november 2009, Jakarta: BalitBang Depdiknas.







[1] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000) hlm. 39-40.
[2] Nasution, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004) hlm. 103-104
[3] Philip Robinson, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 54
[4] Moh. Rosyid, Guru (Kudus: STAIN KUDUS PRESS, 2007) hlm. 127
[5] Jurnal Pendidikan dan kebudayaan, Masihkah Profesi Guru Diminati?, Edisi november 2009, Jakarta: BalitBang Depdiknas, hlm. 1062
[6] [6] Nasution, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004) hlm. 111