Makalah
Kepribadian
Guru
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas :
Mata
Kuliah : Sosiologi Pendidikan
Dosen
Pengampu: Nurkhasanah, M.Ag
Disusun
Oleh:
Eka Nurkhasanah
|
202 109 143
|
Khoirunnisa
|
202 109
|
Soda Kalla
|
202 111 0192
|
M. Al-amin
|
202 111 0212
|
Prodi PAI
Jurusan
Tarbiyah
Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri
(STAIN)
Pekalongan
2012
A.
Pendahuluan
Pepatah jawa mengatakan guru itu singkatan dari di
gugu lan ditiru. Yang digugu adalah ucapannya dan yang ditiru
adalah sikap dan perbuatannya. Hingga saat ini pepatah kata itu masih banyak
kita dengar dimana-mana. sehingga penghormatan dari masyarakat kepada profesi
guru pun hingga saat ini masih dirasakan. Namun harus disadari, bahwa guru juga
manusia. Selain kelebihan yang dimiliki, guru juga punya banyak keterbatasan
dan kekurangan. Di media cetak dan elekronik banyak kita lihat/ kita baca
beberapa contoh kasus guru yang terjerumus dalam tindak kriminal dan asusila.
sehingga sikap dan perilaku guru yang demikian itu bukan sikap dan perilaku
yang patas untuk digugu dan ditiru.
Kita sebagai calon guru sudah seyogyanya
mengetahui tentang seluk beluk guru, salah satunya adalah kepribadian guru,
pada makalah ini akan membahas tentang seperti apa seharusnya kepribadian
seorang guru. Semoga bermanfaat.
A.
Pembahasan
a.
Pribadi Guru
Kepribadian diartikan sebagai
sifat-sifat yang membedakan seseorang dari yang lain. Tiap orang yang pernah
sekolah dan berhubungan dengan guru mempunyai gambaran tertentu tentang
kepribadian guru. Ternyata banyak kesamaan mengenai gambaran orang pada umumnya
tentang guru sehingga terbentuklah stereotip guru. Gambaran tentang guru tampak
dalam cerita-cerita, film, sandiwara, karikatur dalam permainan peranan oleh
anak-anak yang belum bersekolah.
Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing
sesuai dengan ciri-ciri yang miliki. Kepribadian sebenarnya adalah suatu yang
abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara
berpakaian, dan cara menghadapi setiap persoalan.[1]
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan
fisik. Oleh karena itu masalah kepribadian adalah sesuatu hal yang sangat
menentukan tinggi rendahnya kewibawaan seorang guru dalam pandangan anak didik
atau masyarakat.
Walaupun gambaran tentang guru itu
tidak lengkap dan mungkin juga tidak benar seluruhnya, namun orang akan
berinteraksi dengan guru berdasarkan stereotip guru itu. Guru merupakan sumber
pengetahuan utama bagi murid-muridnya, namun pada umumnya orang tidak memandang
guru sebagai orang yang pandai yang mempunyai intelegensi yang tinggi. Orang
yang berintelegensi tinggi akan menjadi dokter atau insinyur dantidak menjadi
guru, walaupun dalam kenyataaan terbukti bahwa guru yang beralih jabatannya
dapat melakukan tugasnya dengan baik sebagai profesi lainnya, hal inipun pernah
digambarkan dalam film merah putih 1, dimana pak amir yang waktu itu seorang
guru SD ditunjuk sebagai perwira dan jasanya begitu besar terhadap bangsa ini.
Guru memang ada lainnya dengan
pekerja lain. Guru wanita, bila dibandingkan dengan gadis atau wanita lain yang
bekerja dikantor, bersifat lebih serius, berpakaian lebih konservatif karena
enggan mengikuti mode terbaru, bahkan tak malu menggunakan pakaian yang sama
berulang-ulang. Guru lebih kritis terhadap kelakuan orang lain, mungkin karena
telah terbiasa mengamati murid-muridnya. Guru wanita tidak mudah bergaul dengan
sembarangan orang.
Dalam hiburan seperti menonton bioskop ia membatasi diri dan tak
suka berjumpa denan murid ditempat serupa itu, bahasa gaulnya adalah Ja’im (jaga
image). Dalam suatu percobaan diperlihatkan 10 foto, diantaranya tiga foto guru
yang khas. Ternyata bahwa murid-murid yang digunakan sebagai sampel kebanyakan
tepat menerka foto guru, sedangkan untuk jabatan lain tebakan mereka meleset.
Dari percobaan itu tampak bahwa orang memiliki gambaran tentang stereotip guru,
orang yang serius, sadar akan harga diri, bersikap menjaga jarak sosial dan
orang lain.
b.
Perkembangan Pribadi Guru
Kepribadian guru terbentuk atas
pengaruh kode kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat dan sifat
pekerjaannya. Guru harus menjalankan peranannya menurut kedudukannya dalam
berbagai situasi sosial. Kelakuan yang tidak sesuai dengan peranannya itu akan
mandapat kecaman. Dalam situasi kelas guru menghadapi sejumlah murid yang harus
dipandangnya sebagai “anaknya”, sebaliknya guru akan dianggap sebagai bapak/ibu
guru, dalam hal ini guru didewasakan, dituakan sekalipun menurut usia yang
sebenarnya belum pantas menjadi “orang tua”.
Wali murid akan memandang guru
sebagai “partner” yang setaraf kedudukannya dan mempercayakan anak mereka untuk
diasuh oleh guru. Dalam menjalankan peranannya sebagai guru ia lambat laun
membentuk kepribadiannya. Ia diperlakukan oleh lingkungan sosialnya sebagi guru
dan ia akan bereaksi sebagai guru pula. Ia menjadi guru karena diperlakukan dan
berlaku sebagai guru. Peranannya semakin lama akan menjadi ciri kepribadiannya
yang mungkin akan melekat pada dirinya sepanjang hidupnya walaupun ia telah
meninggalkan jabatannya. Guru diharapkan senantiasa berkelakuan sebagai guru
selama 24 jam sehari. Apa saja dilakukannya, kapan saja, apakah ia makan di
restoran, menonton di bioskop, menerima tamu dirumah ia harus mempertimbangkan
film apa yang ditontonnya, di restoran mana ia makan, bagaimana ia harus
berpakaian sewaktu menerima tamu.[2]
c.
Ciri-ciri Stereotip Guru
Peranan guru mempengaruhi
kelakuannya. Menurut suatu penelitian pada umumnya terdapat ciri-ciri yang
berikut pada guru:
Guru
tidak memperlihatkan perhatian yang fleksibel. Ia cenderung mempunyai pendirian
yang tegas dan mempertahankannya. Ia kurang terbuka bagi pendirian lain yang
berbeda. Guru cenderung tidak suka menerima jawaban yang berbeda dengan jawaban
guru.
Guru
pandai menahan diri. Ia hati-hati dan tidak segera menceburkan diri dalam
pergaulan dengan orang lain. Karena itu ia tidak dapat memberikan pertisipasi
penuh dalam kegiatan sosial. Bahkan seorang guru sedikit diharamkan untuk masuk
partai.
Guru
berusaha menjaga harga diri dan merasa keterikatan kelakuannya pada norma-norma
yang berkenaan dengan kedudukannya. Baginya guru itu orang yang terhormat dan
karena itu ia harus berkelakuan sesuai dengan kedudukannya itu.
Guru
cenderung bersikap otoriter dan ingin “menggurui” dalam diskusi. Sebagai orang
yang serba tau diluar kelas, dia akan berkelakuan sama seperti diluar kelas.
Guru
cenderung bersikap konservatif baik didalam pendiriannya maupun dalam hal-hal
lahiriah, seperti pakaian.
Guru
pada umumnya tidak terdorong oleh motivasi yang kuat untuk menjadi guru.
Seorang memasuki lembaga pendidikan guru, sering karena pilihan lain tertutup.
Guru
pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan.
Guru
dipandang kurang agresif dalam menghadapi berbagai masalah.
Guru
cenderung untuk memandang guru-guru sebagai kelompok yang berbeda dari golongan
lain. Kecenderungan ini turut menimbulkan stereotip guru.
Guru
menunjukkan kesediaan untuk berbakti dan berjasa.
Gambaran diatas tentang ciri-ciri
guru tidak semuanya dapat dibuktikan, namun orang mempunyai suatu bayangan
tertentu tentang pribadi guru pada umumnya. Walaupun gambaran itu tidak benar
sepenuhnya, orang akan berinteraksi dengan guru berdasarkan gambaran yang ada
padanya.
d.
Memilih Jabatan Guru
Sukar memperoleh data yang obyektif
tentang pribadi calon guru dan alasan untuk memilih pekerjaan sebagai guru.
Bila calon-calon ditanyakan tentang alasan mereka memilih pekerjaan guru,
biasanya mereka menjawab bahwa pilihan itu sesuai dengan cita-cita untuk
berbakti kepada nusa dan bangsa dengan mendidik generasi muda. Kita tidak tau
berapa di antara mereka yang sebenarnya tidak berhasil memasuki perguruan
tinggi lain yang lebih mereka prioritaskan. Bila kita tanyakan murid-murid SMA
jarang ada yang ingin menjadi guru. Profesi keguruan, khususnya pada tingkat
SD, makin lama makin banyak dipegang oleh kaum wanita, bahkan di USA atau
jepang dengan guru pada tingkat SD selalu dimaksud ibu guru. Lambat laun
guru-guru wanita juga mengajar pada tingkat SLTP, SMA bahkan perguruan tinggi.
Bila guru kebanyakan terdiri atas wanita seperti di SD maka jabatan guru akan
diidentifikasikan dengan pekerjaan
wanita sehingga kaum pria akan menjauhinya bila terbuka pekerjaan lain.
Dalam kenyataan dilihat bahwa
guru-guru menunjukkan kepribadian tertentu sesuai dengan jabatannya. Apakah
mereka memiliki kepribadian itu sebelum memasuki lembaga pendidikan guru, jadi
memilih jabatan sesuai dengan jabatannya ataukah kepribadian guru itu terbentuk
selama menjalani pendidikan atau setelah mereka bekerja sebagai guru dan
menyesuaikan diri dengan norma kelakuan seperti yang diharapkan oleh
masyarakat.
Dalam kelas guru memegang posisi
yang sangat berkuasa. Ia dapat menegur dan menghukum tiap pelanggaran. Guru berkepribadian
buruk dapat menyalahgunakan kekuasaannya dalam bentuk sadisme yang sangat
merugikan anak dan dirinya sendiri. Maka karena larangan memberikan larangan
fisik harus tetap dipertahankan. Orang yang mempunyai gangguan mental hendaknya
jangan menjadi guru.
Tak dapat disangkal kebanyakan guru
dengan penuh dedikasi dengan menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk berbakti
kepada pendidikan anak dan masyarakat. Sekalipun guru tidak menonjolkan upah
finansial ia juga manusia biasa yang harus menghidupi keluarganya. maka sudah
selayaknya nasib guru senantiasa menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
e.
Ketegangan Dalam Profesi Keguruan
Dalam pembicaraan-pembicaraan
populer, mengajar seringkali disebut sebagai profesi, guru adalah profesi.[3] Berikut ini adalah beberapa ketegangan dalam profesi keguruan:
a)
Tiap
pekerjaan mengandung aspek-aspek yang dapat menimbulkan ketegangan, apakah
pekerjaan sebagai diplomat, penerbang, supir,dokter atau guru. Jabatan guru
tidak dapat dikatakan menjadi idaman atau panggilan bagi kebanyakan pemuda. Apa
yang diharapkan guru dari jabatannya? Antara lain:
· Keuntungan ekonomis, imbalan finansial.
· Status, kedudukan yang terhormat dalam masyarakat.
· Otoritas, kewibawaan, kekuasaan atas orang lain, dalam hal ini
murid-murid.
· Status profesional, merasa diri memiliki kesanggupan yang khas yang
diperoleh berkat pendidikan yang tidak dimiliki orang lain.
b)
Problem
guru secara struktural adalah menyangkut gaji. Secara finansial, jabatan guru
tidak akan membuatnya menjadi orang kaya. Bukan hanya dinegara kita, dinegara
lain guru banyak mengeluhkan gajinya. Di USA misalnya gaji buruh kasar sering
melebihi gaji guru. Mengingat keberadaan guru sebagai profesi yang profesional
sudah selayaknya tidak ‘tabu’ lagi mengulas ‘berapa gaji yang diperolehnya’.
Selama ini muncul kesan bahwa berbicara ‘gaji’ dianggap tabu, karena guru
dininabobokan dengan ungkapan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, namun pada tataran
realitas-kemasyarakatan, guru tidak dapat berbuat banyak karena ‘miskin’ daya
beli.[4]
c)
Status
guru yang tidak begitu tinggi dalam mata masyarakat dan status yang tidak
jelaas bagi guru sendiri mungkin akan mengecewakannya dan dapat mengganggu
kestabilan kepribadiannya. Status guru yang seperti ini dapat menjadi sumber
ketegangan bagi orang yang mencari kenaikan statusnya melalui jabatannya.
d)
Sumber
ketegangan lain bagi guru ialah otoritas guru untuk menghukum atau memberi
penghargaan kepada murid. Tidak selalu sama pendapat masyarakat apa yang harus
dihargai atau dihukum, sehingga dapat menimbulkan ketegangan.
e)
Ketegangan
lain juga dapat ditimbulkan oleh persoalan apakah pekerjaan guru dapat diakui
sebagai profesi. Tanpa melalui
pendidikan keguruan seorang dapat mengajar, hal yang tidak mungkin terjadi
dalam profesi kedokteran atau hukum. Diadakannya akta IV dapat dipandang
sebagai pengakuan atas perlunya pendidikan khusus keguruan agar dapat mengajar
dengan tanggung jawab.
f)
Sumber
ketegangan juga terletak dalam pekerjaan guru di dalam kelas. Disitu diuji
kemampuannya dalam profesinya, kesanggupannya untuk mengatur proses belajar
mengajar agar berhasil baik sehingga memuaskan bagi setiap murid.
Macam-macam hal lain yang dapat menjadi
sumber ketegangan bagi guru. Diraskan ada tidaknya ketegangan bergantung pada
kepuasan yang dicari seorang guru dalam
profesinya. Keberhasilan guru dalam memberi pelajaran kepada anak didiknya akan
menjadi kepuasan tersendiri. Sedangkan kegagalan dalam hal ini akan menimbulkan
frustasi yang dapat mempengaruhi kepribadiannya.[5]
f.
Gangguan Fisik dan Mental Guru
Dalam buku yang ditulis oleh Nasution, bahwa berdasarkan
penelitian, guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang
tenggorokan sampai sariawan. Hal ini dikarenakan guru biasanya tidak
memperdulikan kesehatan dan memperhatikan pola makan.
Disamping faktor kesehatan yang terganggu para guru juga mengalami
gangguan mental, ada kemungkinan menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa
tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal. Misalnya seperti keluarga yang
tidak harmonis dan masalah-masalah yang ada disekolah.[6]
B.
Kesimpulan
Kepribadian guru
mempunyai kelebihan sendiri bila diterapkan dalam kelas karena ia akan
memberikan kecenderungan dan kesenangan yang berbeda kepada murid. Suksesnya seorang guru tergantung dari
kepribadian, luasnya ilmu tentang materi pelajaran serta banyaknya pengalaman.
Tugas seorang guru itu sangat berat, tidak mampu dilaksanakan kecuali apabila
kuat kepribadiannya, cinta dengan tugas, ikhlas dalam mengerjakan, memelihara
waktu murid, cinta kebenaran, adil dalam pergaulan. Ada yang mengatakan bahwa
masa depan anak-anak di tangan guru dan di tangan gurulah terbentuknya umat.
Selain itu bila
seseorang telah memilih menjadi guru maka ia akan terjun total dalam bidang
yang telah dipilihya sehingga perilaku, ucapan dan tindakan selalu disesuaikan
dengan profesi yang telah dipilihnya. Sedangkan saat ini statemen ibarat guru
kencing berdiri, maka murid kencing berlari merupakan dampak kurang
diaplikasikannya ruh guru oleh guru tersebut. Misalnya, betapa banyak guru
melarang muridnya merokok namun ia sendiri merokok dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Daftar Pustaka
Djamarah,
Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif .
Jakarta: PT Rineka Cipta
Nasution,
2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Robinson,
Philip. 2002. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press
Rosyid,
Moh. 2007. Guru. Kudus: STAIN KUDUS PRESS
Jurnal
Pendidikan dan kebudayaan, Masihkah Profesi Guru Diminati?, Edisi
november 2009, Jakarta: BalitBang Depdiknas.
[1] Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000) hlm. 39-40.
[2] Nasution, Sosiologi
Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004) hlm. 103-104
[3] Philip
Robinson, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press) hlm. 54
[4] Moh. Rosyid, Guru
(Kudus: STAIN KUDUS PRESS, 2007) hlm. 127
[5] Jurnal
Pendidikan dan kebudayaan, Masihkah Profesi Guru Diminati?, Edisi
november 2009, Jakarta: BalitBang Depdiknas, hlm. 1062
[6] [6]
Nasution, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004) hlm. 111