Minggu, 20 Mei 2012

Hadits Pada Masa Sahabat Dan Tabiin



MAKALAH
HADITS PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN

disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah                : Ulum Al-Hadits
Dosen Pengampu        : Hasan Su’aidi, M.Si



Disusun Oleh :
  1. Emilda Khasanah       202 109 106
  2. Mustopiyah                202 109 125
  3. Nurul Khasanah         202 109 137


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2010





PENDAHULUAN

Hadits (As Sunnah) berarti segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk qaul (ucapan), fiil (perbuatan), taqrir perangai dan sopan santun ataupun sepak terjang perjuangannnya, baik sebelum atau setelah diangkatnya menjadi Rasul.
Dalam Al Qur'an, Allah memerintahkan para sahabat untuk mengikuti dan menaati Rasulullah SAW baik semasa hayat maupun setelah wafatnya beliau. Demikian pula umat Islam yang hidup setelah masa para sahabat dan seterusnya diwajibkan mengikuti sunnahnya.
Rasulullah memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan supaya memeriksa benar-benar suatu hadits yang hendak disampaikan kepada orang lain. Nabi SAW bersabda :
كفى بالمرء إثما أن يحدث بكل ماسمع
“Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala apa yang didengarnya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Oleh karena itu, para sahabat sedikit demi sedikit menyampaikan hadits kepada orang lain. Lalu bagaimanakah para sahabat dan generasi setelahnya (tabi’in) menyampaikan sunnah kepada umat Islam? Dalam makalah ini akan disampaikan bagaimana perkembangan sunah pada masa sahabat dan tabi’in secara lebih rinci.

PEMBAHASAN

A.    Hadits Pada Masa Sahabat
Para sahabat pasti melaksanakan perintah Rasulullah SAW dan menyampaikan amanatnya kepada kaum muslimin, apalagi setelah mereka bertebaran di berbagai tempat dan menjadi tempat para tabi’in meminta pertolongan. Salah satu amanat Nabi adalah berpegang pada hadits / as sunnah.
Di antara para sahabat itu ada yang meriwayatkan banyak hadits dan ada pula yang sedikit. Termasuk sahabat yag sedikit meriwyatkan hadits adalah Az Zubeir, Zaid bin Akrom, dan Imran bin Husein.
Para sahabat pada awalnya sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadits. Bahkan ada diantara mereka yang lebih baik diam daripada menyampaikan hadits. Karena takut perumusan penyampaiannya kurang tepat.[1] Khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) sekitar tahun 11 H sampai dengan tahun 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.[2]
Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadits nabi :
1.     Abu Bakar Al-Shidiq
Abu Bakar merupakan sahabat nabi yang menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernah suatu ketika seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar dan meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Al Qur'an dan praktek nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar bertanya kepada shabat, dan Al Mughirah bin Syu’bah menyatakan bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Beliau mengaku bahwa beliau hadir ketika Nabi menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut Abu Bakar meminta agar al-Mugiroh menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhamad bin Maslamah memberikan saksi atas kebenaran pernyataan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan warisan nenek sebesar seperenam bagian.[3]
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relatif tidak banyak. Padahal beliau seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan Rasulullah SAW. Sebab lain, Abu Bakar meriwayatkan hadits yaitu beliau selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah, kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak zaman sesudahnya. Serta jarak antara waktu kewafatan beliau dengan kewafatan nabi sangat singkat.
Jadi, periwayatan hadits pada masa khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa sikap umat Islam dalam meriwayatkan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap kholifah Abu Bakar, yaitu sangat berhati-hati.[4] Akan tetapi tidak perlu disalahpahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadits. Bahkan untuk kepentingan tertentu, hadits nabi ditulisnya.
2.     Umar bin Khattab
Tidak jauh berbeda ketika masa kholifah Abu Bakar, sikap kehati-hatian dalam meriwayatkan suatu hadits dengan syarat adanya saksipun masih dilakukan oleh Sayidina Zumar. Akan tetapi untuk masalah tertentu, seringkali beliau menerima periwayatan tanpa syahid dari orang tertentu.
Dengan tegas, sejarah menerangkan bahwa Umar, ketika memegang kekhalifahan meminta dengan keras agar para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang memperbanyak periwayatan hadits. Saat mengutus utusan ke Iraq, beliau mewasiatkan agar utusan-utusan itu mengembangkan Al Qur'an dan mengembangkan kebagusan tajwidnya. Serta mencegah mereka untuk memperbanyak riwayat.
Diterangkan bahwa suatu ketika ada orang bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah dia banyak meriwayatkan hadits di masa umar, dan Abu Hurairah menjawab : Sekiranya sya membanyakkan hadits Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Umar pernah memenjarakan Ibn Mas’ud, Abu Dar’da dan Abu Mas’ud al-Anshory karena mereka banyak meriwayatkan hadits. Tetapi berita ini sulit dipercaya karena :
a.      Berita itu berasal dari Sa’ad bin Ibrohim dari ayahnya, Ibrohim. Menurut penelitian Nur al-din al Haysamy, Ibrohim lahir pada tahun 20 H dan tidak pernah bertemu dengan Umar. Pasti ketika itu Ibrahim masih berusia sekitar 3 tahun (Umar wafat tahun 23 H).
b.     Jika berita itu benar, pasti akan ada periwayatan lain yang menyampaikan berita itu. Sebab, ketiga sahabat tadi adalah orang-orang yang disegani masyarakat baik pada zaman Umar maupun pada zaman nabi.
Kebijaksanaan Umar melarang para sahabat memperbanyak periwayatan sesungguhnya tidak berarti bahwa Umar sama sekali melarang periwayatan hadits. Namun, agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar perhatian terhadap Al Qur'an tidak terganggu. Namun, periwayatan hadits pada masa Umar lebih banyak dilakukan oleh umat Islam dibanding pada masa Abu Bakar.
Adapun cara para sahabat meriwayatkan hadits pada masa Abu Bakar dan Umar ada dua :
a.      Ada kalanya dengan lafad asli, yaitu sesuai lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal dengan lafal tersebut dari nabi.
b.     Ada kalanya dengan maknanya saja, yaitu mereka meriwyatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafal aslinya.
Yang penting dari hadits adalah isi, bahasa dan lafal boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
3.     Utsman bin Affan
Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Hanya saja langkahnya tidak setegas Umar bin al-Khattab.
Usman sendiri tampaknya memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadits saja.
Pada masa usman dibuka peluang kepada para sahabat untuk meriwayatkan dan mengumpulkan hadits. Dalam khutbahnya Usman menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi, seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya. Hal tersebut terjadi karena pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar. Juga faktor wilayah Islam yang semakin meluas dan mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
Asy Syaikh Abu Bakr Ash Shiqilli dalam fawaidnya menurut riwayat Ibnu Basykual, “Sebenarnya para sahabat tidak mengumpulkan sunah-sunah Rasulullah dalam sebuah mushaf sebagaimana Al Qur'an. Karena sunah-sunah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi karena masyarakat tersebut hanya menghafal untuk dirinya. Lafal-lafal sunnah tidak terjamin kesempurnaannya. Masing-masing sahabat mengumpulkan hadits hanya sekedar kesanggupannya. Dengan demikian pula tersusunlah berbagai hadits.
4.     Ali bin Abi Thalib
Secara umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadits nabi setelah periwyat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Sebenarnya fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali bukanlah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah disanggap tidak perlu apabila orag yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadtis yang berupa catatan, isinya berkisar antara hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir dan larangan melakukan hukum kisas (qishah) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
Sikap kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib sama pada masa sebelumnya. Akan tetapi situasi politik pada masa Ali telah berbeda. Pertentangan politik di kalangan umat Islam makin menajam pada masa Ali. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemalsuan hadits.
Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijaksanaan Khulafaur Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
1)     Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits.
2)     Larangan memperbanyak periwayatan hadits, terutama pada masa Umar. Tujuan pokoknya agar periwayat selektif dalam meriwayatkan hadits dan agar masyarakat tidak berpaling memperhatikan hadits dari pada Al Qur'an.
3)     Pengucapan sumpah dan menghadirkan saksi menjadi salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Kecuali orang-orang yang memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban tersebut.
4)     Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits.
Beberapa sahabat nabi selain Khulafa’ur Rasyidin telah menunjukkan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadits pula. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan mereka seperti :
1)     Anas bin Malik, pernah berkata sekiranya dia tidak takut keliru niscaya emua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan ini memberi petunjuk bahwa tidak semua hadits yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikan kepada sahabat lain atau tabi’in.
2)     Abd Allah bin Umar
Oleh kalangan tabiin antara lain :
a.      Al Sya’biy : selama dia bergaul dua atau satu setengah tahun dengan Ibn Umar, ternyata beliau hanya menyampaikan sebuah hadits saja.
b.     Sabit bin Quthbah al Anshariy : dalam waktu satu bulan, hanya menyampaikan dua atau tiga buah hadits.
c.      Mujahid : selama menemani Ibn Umar dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, beliau hanya menyampaikan sebuah hadits saja.
3)     Sa’ad bin Abiy Waqqash
Ketika melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah bersama al Sa’ib bin Yazid, beliau sama sekali tidak menyampaikan sebuah haditspun.
Sikap kehati-hatian para sahabat dalam periwayatan hadits ini sama dengan kehati-hatian para sahabat besar pada umumnya. Di samping itu, pada masa sahabat kecil, para sahabat terlihat tidak lagi terkekang akan keharusan menyedikitkan periwayatan hadits.[5]

B.    Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak begitu berbeda dengan yang dilakukan para sahabat. Mereka, bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi berbeda dengan yang dihadapi sahabat.
Ketika pemerintah dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasana Islam sampai meliputi Mesir, Persia, Iraq, Afrika Selatan, Samarkand dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat sehingga masa ini disebut masa menyebarnya periwayatan hadits (intisari ar-Riwayah ila al-amsar).[6]
Pada masa ini, para tabi’in dengan jelas menunjukkan kesungguhan, kehati-hatian dan keluasan pengetahuan ulama sesudah zaman generasi sahabat dalam periwayatan hadits. Bagian hadits yang dikaji dan didalami bukan hanya matannya saja, melainkan juga nama-nama perawi yang susunan sanadnya.
Ulama hadits pada masa itu kemudian mnciptakan gelar-gelar keahlian di bidang pengetahuan hadits. Gelar-gelar yang berstatus honoris causa itu bertingkat sesuai jenjang keahlian masing-masing ulama. Kalangan ulama muta’akhirin menyatakan gelar yang terendah adalah al-musnid, kemudian disusul peringkat di atas secara urut : al-muhaddis, al-hafizh, al-hakim dan yang tertinggi amir al mu’minin fiy al hadis.
Kemudian gelar tersebut pertanda betapa hadits nabi telah menjadi perhatian yang sangat besar di kalangan ulama dan masyarakat. Periwayatan hadits pada masa ini tidak memperoleh hadits secara langsung dari nabi, karena mereka tidak sezaman dengan Nabi. Mereka dapat menerima riwayat dari periwayat yang bersal dari generasi sebelum mereka, satu generasi dengan mereka dan dari generasi berikutnya yang sempat sezaman dengan mereka.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada masa tabi’in telah makin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibanding pada masa sahabat. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadits makin besar, karena jumlah periwayatnya juga semakin bertambah banyak. Seiring dengan itu jumlah ulama yang mengkhususkan diri untuk meneliti hadits juga makin bertambah banyak. Berbagai ilmu dan kaedah yang berkenaan dengan penelitian hadits makin berkembang.

C.    “Bendaharawan Hadits”
Julukan “bendaharawan hadits” adalah untuk sahabat di mana yang diriwayatkan lebih dari 1.000 hadits. Mereka memperoleh riwayat yang banyak itu karena :
1)     Yang paling awal masuk Islam, seperti : Khulafaur Rasyidin dan Abalullah ibn Mas’ud
2)     Terus menerus mendampingi Nabi dan kuat hafalannya, seperti : Abu Hurairah.
3)     Menerima riwayat dari setengah sahabat selain mendengar dari Nabi dan panjang umurnya, seperti : Anas ibn Malik
4)     Lama menyertai Nabi dan mengetahui keadaan Nabi. Seperti : isteri-isteri beliau Aisyah dan Ummu Salamah
5)     Berusaha mencatatnya seperti : Abdullah ibn Amer bin Ash.
Para “bendaharawan hadits”, ialah :
1)     Abu Hurairah (+ 5.347 hadits)
2)     Aisyah, isteri Rasul (+ 2.210 hadits)
3)     Anas ibn Malik (+ 2.236 hadits)
4)     Abdullah ibn Abbas (+ 1.660 hadits)
5)     Abdullah ibn Umar (+ 2.630 hadits)
6)     Jabir ibn Abdillah (+ 1.540 hadits)
7)     Abu Sa’di al Khudry (+ 1.170 hadits)
8)     Ibn Mas’ud
9)     Abdullah ibn Amer Ibn Ash.[7]

D.    Pusat-pusat Hadits dan Tokohnya
Dalam perkembangan Islam yang begitu luas, yang tidak pernah ada dalam sejarah manusia terjadi semacam itu. Maka tidak dapat dipungkiri bahwa para ulama harus disebar pula ke daerah-daerah yang wilayahnya sangat luas tersebut. Alasannya, daerah-daerah tersebut dikuasai dan dihuni oleh orang Islam. Tidak dapat disangkal lagi bahwa para penduduk tersebut harus disediakan ulama untuk mempelajari ajaran Islam, tidak terkecuali ulama hadits. Tentu benar, jika dalam perkembangan selanjutnya terdapat kota-kota beserta ulama hadits sebagai pusat pengajaran hadits.
1.     Madinah
Madinah dikenal juga dengan Dar al-Hijrah. Sebagai ibukota kekuasaan Islam pada masa nabi dan Khulafa Rasyidin maka kota ini menjadi pusat hadits. Bahkan pemikiran fiqhnyapun dikenal sebagai fiqh ahli hadits.
Di antara tokoh-tokoh hadits di Madina ada kalangan sahabat ialah Abu Bakr, Umar, Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Sa’di Al Khudry dan Zaid ibn Tsabit.
Di kota ini muncul pula generasi tabi’in seperti : Sa’di Ibn Al Musayib, Urwah ibn al-Zubair, Ibn Syihab al-Zuhri, Ubaidillah ibn Utbah ibn Mas’ud, Salim ibn Abdillah ibn Umar, Muhammad al-Munkadir.
2.     Makkah
Di antara tokoh hadits Makkah ialah Mu’adz ibn Jabal, Abdullah ibn Abbas, Atab bin Asid, Haris bin Hisyam, Usman bin Thalhah, dan Uqbah bin al-Haris.
Di antara para tabiin tercatat nama-nama seperti : Mujahid bin Jabar, Ata’bin Abi Rabah, Tawus bin Kaisan, Ikrimah Maula ibn Abbas dan Abul Zubair Muhammad ibn Muslim.
3.     Kufah
Para sahabat mulai masuk ke Kufah pada msa pemerintahan Umar bin Khattab, ketika menaklukkan Irak. Kota Kufah dan Bashrah selanjutnya menjadi pintu gerbang perluasan Islam ke Khurasan, Persia dan India.
Diantara sahabat yang mengembangkan hadits di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqash, Sa’di ibn Zaid, Khabbab ibn Al Arat, Salman Al-Farisy, Hudzaifah Ibnul Yaman, Amar ibn Yasir, Abu Mus, Al Baraq, Al Mughirah, Al Nu’man, Abu Thufail, Abu Juhaifah.
Tidak kurang dari 6- orang tabi’in besar menjadi sahabat Ibn Mas’ud, antara lain Amir Ibn Syurahbil al-Sya’bi, Sa’id ibn Jabir al-Asasi, Ibrahim al-Nakha’i, Abu Ishaq al Sabi’i, Abdul Malik ibn Umar.
4.     Bashrah
Pemimpin hadits di Bashrah dari golongan sahabat, ialah : Anas ibn Malik, Abu Musa al-Asy’ari, Utbah ibn Ghazwan, Imran ibn Hushain, Abu Barzah al-Aslami, Ma’qal ibn Yassar, Abdurahman ibn Samurah, Jariah ibn Qudamah, Abdullah ibn Syikhir.
Tabi’in hasil didikan para sahabat di sana antara lain Hasan al-Bishri, Abul Aliyah, Rafi ibn Mihram Al Riyahy, Muhammad ibn Sirin, Abu Sya’tsa’, Jabir ibn Zaid, Qatadah, Mtharraf ibn Abdullah ibn Syikhkhir dan Abu Bardah ibn Abi Musa.
5.     Syam
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Syam adalah wilayah kekuasaan Mu’awiyah ketika ia menjadi gubernur di sana, sehingga ketika ia menjadi kepala negara maka secara langsung ibukota pemerintahannya pun di Syam.
Sahabat Nabi yang menjadi ulama hadits di sana antara lain Mu’adz ibn Jabal, Ubadah ibn Shamit, Abu Darda’, Surahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah al-Jarh, Bilal bin Rabah, Sa’ad bin Ubadah, Khalid bin Walid dan Iyad bin Ganam.
Para tabi’in yang muncul di sini, antara lain Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al Khaulani, Abu Sulaiman ad-Darani dan Umair bin Hanafi.
6.     Mesir
Para sahabat yang membina di Mesir antara lain, ialah Amr bin al-As, Uqbah bin Amr, Kharijah bin Huzafah dan Abdullah bin al-Haris. Sedang para tabi’in diantaranya Amr bin al Haris, Khair bin Nu’aimi al Hadrami, Yazid bin Abi Habib, Abdullah bin Abi Jafar dan Abdullah bin Sulaiman at-Tawil.
7.     Magrib dan Andalus
Para sahabat yang terjun diantaranya Mas’ud bin al-Aswad al-Balwi, Walid bin Uqbah bin Abi Muid, Salamah bin al-Akwa, Bilal bin Haris bin Asim al-Muzani. Kemudian para tabi’in yang muncul ialah Ziyad bin Anam al-Mu’afil, abdurrahman bin Ziyad, Yazid bin Abi Mansur, al-Mugirah bin Abi Burdah, Rifa’af bin Rafi’ dan Muslim bin Yasar.
8.     Yaman
Para sahabat yang membina di Yaman antara lain Muaz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Kedua sahabat ini telah dikirim ke daerah ini sejak msa Rasul SAW masih hidup. Para tabi’in yang muncul diantaranya, Hamam bin Munabah, Wahab bin Munabah, Tawus dan Ma’mar bin Rasid.
9.     Kurasan
Para sahabat yang terjun, antara lain Buraidah bin Husain al Aslami, al Hakam bin Amir al-Gifari, Abdulah bin Qasim al-Aslami dan Qasm bin al-Abas. Sedang tabi’innya ialah Muhammad bin Ziyad, Muhammad bin Sabit al-Ansari, Ali bin Sabit al Ansari dan Yahya bin Sabih al-Mugri.[8]

E.    Politik dan Pemalsuan Hadits
Seperti yang telah kita ketahui pergolakan politik sebenarnya terjadi sejak masa sahabat. Setelah terjadinya perang jamal dan perang sifin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut yaitu terpecahnya umat Islam dalam beberpa kelompok (khawarij), syi’ah (jumhur).
Secara langsung atau tidak, masalah tersebut cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan hadits berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif ialah dengan munculnya hadits-hadits palsu (maudu’) untuk kepentingan politik masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya.
Adapun pengaruh positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadits, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.[9]

PENUTUP

Dari uraian di atas dapatlah dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman sesudah generasi sahabat nabi tidak makin meluas. Rangkaian para periwayat hadits yang “beredar” di masyarakat menjadi lebih “panjang’ dibandingkan dengan rangkaian para periwayat pada zaman sahabat Nabi.
Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadits makin bertambah besar, karena jumlah periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya makin bertambah banyak. Seiring dengan itu jumlah ulama yang mengkhususkan diri untuk meneliti hadits juga makin bertambah banyak. Berbagai ilmu dan kaedah yang berkenaan dengan penelitian hadits makin berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 1999.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.

Asisba’i, Musthafa, Dr. 1993. Al-hadits Sebagai Sumber Hukum Kedudukan Assunnah dalam Membina Hukum Islam, Bandung : CV. Diponegoro.

Ismail, M. Syuhudi, Prof. Dr. H. 1995. Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, Jakarta.

Suparca, Munzier, Drs. MA. 1993. Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Zuhri, Muh. DR. 1997. Hadits Nabi, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.




[1] Dr. Musthafa Assiba’i, Al-hadits Sebagai Sumber Hukum Kedudukan Assunnah dalam Membina Hukum Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1993, hal. 96-97.
[2] Drs. Munzier Suparca, MA, Ilmu Hadits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 66.
[3] Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hal. 42.
[4] Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hal. 44.
[5] Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hal. 47-49.
[6] Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 71.
[7] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1999, hal. 53-54.
[8] DR. Muh. Zuhri, Hadits Nabi, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hal. 43-45
[9] Drs. Munzier Suparca, M.A, Ilmu Hadits, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 73-74.

Bimbingan Identik Dengan Pendidikan


MAKALAH

Bimbingan Identik dengan Pendidikan

Disusun untuk memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Bimbingan dan Penyuluhan
Dosen Pengampu :  Atiyatul Maula M.Psi





 










Disusun Oleh :

Eka Nur Khasanah
202 109 143
Nurhidayah
Maslikhah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
( STAIN ) PEKALONGAN
2011
 
Ulil Azzam
202 109 139
202 109
202 109 








1.     Pengertian
Bimbingan pendidikan terdiri dari dua kata, yaitu Bimbingan dan Pendidikan. Untuk memahami secara komprehensif mengenai bimbingan pendidikan di institusi pendidikan harus dipahami terlebih dahulu istilah demi istilah tersebut satu demi satu.
Bimbingan secara etimologis, kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidance yang berasal dari kata kerja guide yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing menuntun ataupun membantu. Sesuai dengan istilahnya maka secara umum bimbingan dapat di artikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan.[1]
Bimbingan pendidikan adalah bimbingan yang bertujuan untuk membantu murid dalam menghadapi dan memecahkan masalah – masalah dalam pendidikan pada khususnya.[2]

2.     Ciri – ciri Bimbingan Pendidikan
a.      Bimbingan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, sehingga bantuan itu diberikan secara sistematis, berencana, terus menerus dan terarah kepada tujuan tertentu. Dengan demikian, kegiatan bimbingan bukanlah kegiatan yang dilakukan secara kebetulan, incidental, sewaktu – waktu, tidak sengaja/asal-asalan
b.     Bimbingan merupakan proses membantu individu dengan menggunakan kata membantu berarti dalam kegiatan bimbingan tidak terdapat adanya unsure paksaan. Dalam kegiatan bimbingan pembimbing tidak memaksa individu untuk menuju ke suatu tujuan yang ditetapkan oleh pembimbing melainkan pembimbing membantu mengarahkan terbimbing ( klien ) kearah suatu tujuan yang telah ditetapkan bersama – sama. Dengan  demikian, dalam kegiatan bimbingan dibutuhkan kerjasama yang demokratis antara pembimbing dengan kliennya.
c.      Bahwa bantuan diberikan kepada setiap individu dan memerlukannya di dalam proses perkembangannya, hal ini mengandung arti bahwa bimbingan memberikan bantuan kepada setiap individu, baik ia anak-anak, remaja, dewasa maupun orang tua. Hal ini yang berarti bahwa bimbingan ini diberikan kepada setiap individu, baik ia berada dalam lingkungan sekolah/diluar lingkungan sekolah.
d.     Bahwa bantuan yang diberikan melalui bimbingan pelayanan bimbingan bertujuan agar individu dapat mengembangkan dirinya secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian bimbingan itu berusaha membantu agar setiap individu dapat mengembangkan potensinya secara optimal dengan sebaik – baiknya.
e.      Yang menjadi sasaran bimbingan adalah agar individu dapat mencapai kemandirian, yakni tercapainya perkembangan yang optimal dan dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bertanggungjawab pada dirinya sendiri dan kesejahteraan masyarakat lainnya.
f.      Untuk mencapai tujuan bimbingan sebagaimana diatas digunakan pendekatan pribadi/kelompok dengan memanfaatkan berbagai teknik dan media bimbingan. Oleh karena itu, kegiatan bimbingan selalu berorientasi kepada pandangan bahwa individu merupakan pribadi yang unik, dengan segala cirri dan karakteristiknya yang berbeda dengan individu lain.
g.     Layanan bimbingan dengan menggunakan berbagai macam media dan teknik tersebut dilaksanakan dalam suasana asuhan yang normative. Oleh sebab itu, pembimbing diharapkan dapat menciptakan suasana asuhan yang dalam  budaya Indonesia dikenal dengan istilah Tut wuri Handayani, ing madya mangun karso, ing ngarso sung tuladha
h.     Bahwa untuk melaksanakan bimbingan diperlukan adanya personil – personil yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang bimbingan.[3]

3.     Kebaikan Bimbingan Pendidikan
a.      Pengenalan terhadap situasi pendidikan yang dihadapi
Dalam situasi pendidikan yang dihadapi oleh murid – murid baik situasi baru atau lama, murid perlu memperoleh bantuan dan penyesuaian diri. Hal ini dapat dicapai dengan jalan membantu pengenalan mengenai hal – hal seperti : system pendidikan, kurikulum, buku, metode belajar, alat – alat pelajaran, situasi lingkungan sekolah, pengaturan sekolah.
b.     Pengenalan terhadap studi lanjutan
Bantuan ini terutama diberikan kepada murid-murid kelas terakhir yang akan meninggalkan sekolah dan akan melanjutkan studinya. Pengenalan yang diberikan antara lain mengenai jenis – jenis sekolah yang dapat dimasuki, syarat – syarat masuk ke sekolah lanjutan kurikulumnya, system pendidikan, cara – cara pemilihan jurusan yang sesuai dan lain sebagainya.
c.      Perencanaan pendidikan
Untuk mencapai sukses didalam pendidikan maka haruslah dibuat suatu rencana yang jelas dan nyata mengenai kemungkinan kemungkinan pendidikan yang akan ditempuhnya. Murid perlu mendapat bantuan dalam membuat rencana pendidikan yang akan ditempuhnya di masa yang akan datang, sesuai dengan cita-citanya, bakat minatnya, kemampuan biaya tersebut. Dengan demikian murid – murid dapat menempuh pendidikan yang didasari oleh suatu rencana yang nyata, sehingga lebih menjamin tercapainya tujuan
d.     Pemilihan spesialisasi
Pada saat – saat tertentu murid – murid dihadapkan kepada pemilihan spesialisasi ( kekhususan ) misalnya pemilihan jurusan pada kelas- kelas terakhir. Kelas, pemilihan di perguruan tinggi, dan pemilihan mata pelajaran tambahan.[4]

4.     Kelemahan – kelemahan Bimbingan Pendidikan
§  Pelaksanaan bimbingan klasikal dengan jumlah siswa yang terlalu banyak terkesan kurang efektif, karena konselor tidak akan bisa menyelami karakteristik siswa dalam kondisinya.
§  Pelaksanaan bimbingan kelompok kurang mendapatkan hasil apabila konselor tidak professional dalam mengelompokan karakteristik masalah konseling/ siswa yang sifatnya homogeni/serupa
§  Materi pengembangan diri menjadi perdebatan, karena banyak guru yang berpendidikan non BK mengisi kegiatan tersebut sehingga sifatnya kurang kondusif
§  Beban konselor yang dihadapkan dengan 150 siswa misalnya, belum mengalami pemerataan, sehingga di beberapa sekolah seorang konselor bisa lebih dari 150 siswa yang ditanganinya.[5]


Daftar Pustaka

Asmani, Jamal Makmur. 2010. Bimbingan Konseling di sekolah. Jogjakarta : Diva press
Surya. Moh. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Bandung : CV. Ilmu
Suyadi. 2009. Bimbingan Konseling untuk PAUD. Jogjakarta : Diva Press
http : www. Kelemahan bimbingan kelomppok. Html. Diakses pukul 11.26 jumat 23.09.2011


[1] Suyadi. Bimbingan Konseling untuk PAUD. Jogjakarta : Diva Press. 2009. H. 31
[2] Ibid. 36
[3] Jamal Makmur Asmani. Bimbingan Konseling di sekolah. Jogjakarta : Diva press.2010. h.32-37
[4] Moh.Surya. Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Cv.Ilmu. Bandung. 1975. H. 36 - 37
[5] http : www. Kelemahan bimbingan kelomppok. Html. Diakses pukul 11.26 jumat 23.09.2011